Ketika kita berbicara tentang isu-isu gereja masa kini,
maka pembicaraan kita tidak bisa terlepas dari permasalahan-permasalahan yang
semakin banyak berkembang saat ini di dalam gereja. Seperti, bagaimana wajah
gereja saat ini, bagaimana pandangan masyarakat saat ini tentang gereja, bagaimana
keberadaan gereja bukan lagi sebagaimana mestinya sebuah gereja dan masih
banyak lagi isu-isu yang berkembang berkenaan dengan kondisi dan keberadaan
gereja pada umumnya dan bagaimana terpuruknya gereja di tengah zaman ini.
Para pemikir atau teolog Kristen di Indonesia seperti
Pdt. Eka Darmaputera, sedikit banyak sangat memperhatikan hal ini. Ia
menyatakan ada Tripanggilan (bersaksi,
bersekutu, melayani) gereja yang seharusnya dilaksanakan oleh gereja, tetapi
pada kenyataannya hal itu tidaklah berjalan sebagaimana mestinya. Selain itu,
ada juga yang berpendapat bahwa gereja tidak lagi memiliki tujuan yang jelas di
dalam keberadaannya. Padahal, dengan jelas dapat dilihat bahwa gereja memiliki 5
tujuan dasar di dalam keberadaannya, yang disingkat dengan IP4, yakni ibadah,
persekutuan, pelayanan, pemuridan dan penginjilan.
Melihat kondisi ini, maka patutlah dipikirkan dan
direnungkan lagi keberadaan gereja di tengah bangsa Indonesia ini. Dalam
perkuliahan pertama mata kuliah ini, ada beberapa hal yang dipaparkan berkenaan
dengan pandangan Pdt. Eka Darmaputera tentang wajah gereja. Beliau
menggambarkan gereja seperti manusia yang “mandul” karena tidak lagi hidup dan berkembang,
juga mengalami “kelumpuhan dan ketidakberdayaan” yang diistilahkannya dengan sebutan
insignifikansi internal dan irelevansi
eksternal. Dengan keberadaan gereja yang demikian membawa suatu pemahaman
tersendiri bagi masyarakat terhadap gereja. Mereka tidak lagi menunjukkan wajah
yang bersahabat, malah sebaliknya, mereka menunjukkan sikap curiga dan semakin
tidak bersahabat. Di tambah lagi dengan perpecahan yang terjadi dalam tubuh
gereja sehingga menimbulkan cap bahwa “orang Kristen hobby berkelahi” dan
sangat gampang untuk memecah-belah mereka. Tanpa dipecah-belahkan pun mereka
telah memecahkan dirinya, seperti yang dipaparkan oleh Paulus kepada jemaat di
Korintus (I Korintus 3:4-5), bahwa jemaat di Korintus merasa bahwa mereka
berasal dari golongan yang berbeda dan setiap golongan merasa merekalah yang
paling benar, baik itu yang mengaku berasal dari golongan Paulus atau Apolos.
Padahal, jemaat semua mengikuti jalan yang benar di mana Paulus dan Apolos
memiliki tugas masing-masing dalam jemaat, dan Tuhan yang keduanya beritakan
melengkapi mereka untuk kemuliaan nama-Nya. Demikian juga halnya dengan gereja
masa kini. Mereka merasa bahwa golongan merekalah yang paling benar secara
doktrin dan pengajaran, sedangkan gereja yang lain tidak lebih benar dari
mereka dan demikian sebaliknya, sehingga kondisi ini menimbulkan GAP di antara
gereja-gereja yang ada dan pada akhirnya timbul ketidaksehatian dalam tubuh Kristen
itu sendiri dan sangat gampang untuk memecah-belah mereka.
Kondisi dan keberadaan ini menjadi problem tersendiri
bagi gereja. Bagaimana gereja bisa mengabarkan tentang kasih Tuhan dan
berbicara dengan banyak orang tentang penebusan Allah ketika gereja sendiri
sebelum berbicara telah ditolak oleh mereka? Hal inilah yang seharusnya menjadi
perhatian dan bahan perenungan bagi semua orang yang menyatakan dirinya adalah
warga gereja, baik itu hamba Tuhan, majelis gereja, bahkan jemaat awam
sekalipun.
Dikatakan lagi bahwa gereja tidak lagi memiliki
kredibilitas yang tinggi, sehingga image ini menciptakan image lainnya yang
diberikan masyarakat kepada gereja. Seperti, “gereja adalah pejuang yang
setengah hati,” karena gereja tidak berubah dan mengubah di tengah masyarakat
yang berubah, sehingga gereja terasing dari dinamika yang terjadi di
masyarakat. Gereja lebih banyak bersembunyi dalam sarangnya dan mencari aman
dan melupakan tugas dan tanggung jawab mereka sebagai duta Allah. Dan kritik
pedas yang disampaikan oleh Pdt. Eka Darmaputera menyatakan bahwa gereja saat
ini memang buta, tuli, bisu, mandul dan lumpuh.
Kenyataannya memang benar seperti yang dipaparkan oleh
Pdt. Eka Darmaputera, gereja tidak lagi menarik dan merupakan suatu tempat yang
membosankan dalam kondisi yang buta, tuli, bisu, mandul dan lumpuh, di mana
banyak sekali permasalahan yang terjadi di dalam tubuh gereja itu sendiri yang
seharusnya menjadi suatu perhatian bagi gereja tetapi tidak pernah diperhatikan
oleh orang-orang yang berada di dalam gereja sehingga segala sesuatunya itu
dibiarkan begitu saja.
Wacana yang telah dipaparkan oleh Pdt. Eka Darmaputra
dapat menjadi suatu bahan renungan bagi gereja, bagaimana seharusnya gereja
berbenah dan memperbaiki diri agar fungsi gereja yang sesungguhnya dapat
dijalankan sesuai dengan apa yang Tuhan kehendaki.
Ketika gereja memasuki masa sekarang ini, di mana segala
sesuatunya terus berubah, maka gereja juga harus menjawab tantangan zaman ini
dengan terus memupuk diri dan menggali potensi yang ada sehingga gereja tetap
eksis untuk memuliakan nama Tuhan. Gereja tidak bisa stagnan dan puas dengan
keberadaan mereka yang sama sekali tidak berubah dan hal itu membuat manusia
tidak lagi tertarik dengan gereja. Gereja menjadi gedung tua yang ditinggalkan
oleh orang-orang dan akan semakin dilupakan jika gereja tidak segera berbenah
diri.
Oleh
karena itu, segala aspek yang berkenaan dengan gereja harus membenahi diri
untuk bisa menjawab tantangan zaman ini dan dapat membawa masyarakat pada
pemahaman yang benar tentang gereja dan lebih dari pada itu, orang dapat
mengenal Kristus dengan lebih dalam dan lebih lebih sungguh lagi melalui
gereja.
Personal
Reflektion
Selain berbicara tentang gereja secara keseluruhan,
isu-isu gereja masa kini juga berbicara tentang pribadi-pribadi yang dipanggil
secara khusus oleh Allah, yang dikhususkan dan dikuduskan Allah untuk
melayani-Nya, yakni para hamba Tuhan.
Berkenaan dengan hal ini, ada banyak isu yang diangkat
berkaitan dengan keberadaan hamba Tuhan di gereja dan di tengah lingkungannya
di masyarakat, dan dalam bagian ini mungkin hanya beberapa yang dapat
dibicarakan. Pertama, hamba Tuhan dalam dunia yang berubah adalah agen Allah
dalam perubahan tersebut. Sebagai agen Allah, tentu hamba Tuhan dituntut lebih
banyak dibandingkan dengan manusia pada umumnya. Mereka harus bisa dan mampu
hidup berbeda dari manusia pada umumnya dan membawa manusia-manusia itu untuk
kembali kepada Tuhan lewat perubahan yang ada saat ini.
Dalam zaman yang semakin maju dan berubah ini, seorang hamba
Tuhan tidak hanya dituntut sekedar mengurusi
urusan gereja. Tetapi lebih dari pada itu, seorang hamba Tuhan juga diharapkan
menjadi manusia super yang segala sesuatunya harus menguasai atau setidaknya
tahu. Tetapi hal ini tentulah bukanlah menjadi suatu hal yang gampang, apalagi
berbicara tentang konteks. Mungkin bagi hamba Tuhan di kota mengetahui segala
sesuatu sangat gampang, tinggal mau atau tidak mereka belajar lebih banyak
lagi, tetapi bagaimana halnya dengan hamba Tuhan yang tinggal di pedesaan yang
dapat dikatakan bahwa segala-galanya terbatas. Bagaimana jika mereka dituntut
untuk lebih pintar dan lebih banyak tahu? Ditambah lagi dengan pandangan jemaat
yang beragam terhadap hamba Tuhan, di mana segala gerak-gerik yang dilakukan
seorang hamba Tuhan menjadi sesautu yang “nikmat” untuk dibicarakan. Segala
sesuatu yang dilakukan seorang hamba Tuhan selalu salah, jalan ke kanan salah
apalagi ke kiri, dan hal seperti inilah yang saya pikir tidak adil untuk
seorang hamba Tuhan.
Terkadang jemaat lupa bahwa hamba Tuhan adalah manusia
biasa yang juga terbatas dalam segala sesuatunya. Karena itu mereka menuntut
hamba Tuhan seperfek mungkin, tidak boleh ada cela sedikitpun. Sekali ada cela
maka selamanya mereka tidak bisa diampuni dan diperlakukan semena-mena, bahkan
“tanpa salahpun” mereka bisa diperlakukan semena-mena seperti pembantu atau
pekerja saja. Jemaat lupa bahwa hamba Tuhan itu adalah manusia biasa tetapi
yang diutus Tuhan, untuk apa? Untuk memberitakan Kristus kepada dunia.
Tidak berhenti sampai di sini, ternyata persoalan hamba
Tuhan itu begitu kompleks, misalnya, ketika seorang hamba Tuhan yang telah
berkeluarga dan memiliki banyak sekali tanggungan hidup yang harus mereka
penuhi, sedangkan tunjangan yang diberikan gereja tidak mencukupi, apakah yang
harus mereka lakukan? Berbisnis? Kembali ke diskusi kelas yang dilakukan
kemarin, ternyata hal inipun melihat konteks tempat di mana hamba Tuhan itu
berada dan bagaimana sistem gereja yang telah mengatur hal ini. Seorang hamba
Tuhan di kota dan melayani di gereja yang lumayan besar tentu tidak ada
kesempatan untuk mencari penghasilan lain di luar gereja karena mereka sibuk
dengan pelayanan dan tentu tunjangan yang mereka terima itu cukup untuk
kebutuhan mereka. Berbeda halnya dengan hamba Tuhan yang melayani di pedesaan
bahkan di pedalaman, mereka harus bisa mandiri untuk mencari kebutuhan mereka.
Kenapa? Tentu saja karena kondisi jemaat yang mereka layani. Kemungkinan besar,
jemaat bukanlah jemaat yang telah maju dan sangat mampu, merekapun sangat terbatas.
Ada kalanya persembahan yang mereka bawa bukanlah berupa uang, tetapi hasil
bumi yang mereka miliki itulah yang menjadi persembahan mereka. Dalam
keberadaan seperti ini, mau tidak mau seorang hamba Tuhan harus bisa berhikmat
melihat kondisi dan situasi yang ada dan tidak bergantung kepada jemaat.
Isu lainnya yang berkembang adalah ketika seorang hamba
Tuhan tidak lagi mengutamakan Tuhan dalam pelayanannya dan menempatkan diri di
posisi Tuhan, sehingga orang-orang tidak lagi mencari Tuhan, tetapi mencari
“hamba Tuhan” ini. Sungguh sesuatu yang sangat ironis di mana seharusnya
seorang hamba itu memberitakan tentang Tuannya, tetapi yang terjadi malah
sebaliknya. Segala praktik yang mereka lakukan tidak ada bedanya dengan
dukun-dukun yang ada dalam zaman ini dan ini membawa keuntungan pribadi. Semakin
berkembang lagi dengan pemahaman dan pengajaran tentang Kristus yang mulai
dibelokkan dan menyatakan keselamatan di luar Kristus.
Jika diperhatikan dengan seksama dan direnungkan, sungguh
sangat ironis, kehidupan seorang hamba Tuhan pun bisa bergeser dari nilai-nilai
ilahi yang diberikan dan difirman oleh Allah, mengikuti nilai-nilai yang
diajarkan oleh dunia ini. Seorang hamba Tuhan tidak lagi malu dan sungkan untuk
berbuat dosa dan mencoreng nama Tuhan di depan wajah dunia, sehingga hal ini
membawa pandangan tersendiri bagi hamba Tuhan pada umumnya dan dapat dijadikan
tolak ukur global oleh masyarakat dunia. Untuk itu, seorang hamba Tuhan harus
memiki integritas yang tinggi dan dapat membawa jemaat (khususnya) dan
masyarakat (umumnya) mengenal dan tahu tentang siapa hamba Tuhan itu dan
bagaimana seharusnya kehidupannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar