Jumat, 16 November 2012

Theological Reflection


Ketika kita berbicara tentang isu-isu gereja masa kini, maka pembicaraan kita tidak bisa terlepas dari permasalahan-permasalahan yang semakin banyak berkembang saat ini di dalam gereja. Seperti, bagaimana wajah gereja saat ini, bagaimana pandangan masyarakat saat ini tentang gereja, bagaimana keberadaan gereja bukan lagi sebagaimana mestinya sebuah gereja dan masih banyak lagi isu-isu yang berkembang berkenaan dengan kondisi dan keberadaan gereja pada umumnya dan bagaimana terpuruknya gereja di tengah zaman ini.
Para pemikir atau teolog Kristen di Indonesia seperti Pdt. Eka Darmaputera, sedikit banyak sangat memperhatikan hal ini. Ia menyatakan ada Tripanggilan (bersaksi, bersekutu, melayani) gereja yang seharusnya dilaksanakan oleh gereja, tetapi pada kenyataannya hal itu tidaklah berjalan sebagaimana mestinya. Selain itu, ada juga yang berpendapat bahwa gereja tidak lagi memiliki tujuan yang jelas di dalam keberadaannya. Padahal, dengan jelas dapat dilihat bahwa gereja memiliki 5 tujuan dasar di dalam keberadaannya, yang disingkat dengan IP4, yakni ibadah, persekutuan, pelayanan, pemuridan dan penginjilan.
Melihat kondisi ini, maka patutlah dipikirkan dan direnungkan lagi keberadaan gereja di tengah bangsa Indonesia ini. Dalam perkuliahan pertama mata kuliah ini, ada beberapa hal yang dipaparkan berkenaan dengan pandangan Pdt. Eka Darmaputera tentang wajah gereja. Beliau menggambarkan gereja seperti manusia yang “mandul” karena tidak lagi hidup dan berkembang, juga mengalami “kelumpuhan dan ketidakberdayaan” yang diistilahkannya dengan sebutan insignifikansi internal dan irelevansi eksternal. Dengan keberadaan gereja yang demikian membawa suatu pemahaman tersendiri bagi masyarakat terhadap gereja. Mereka tidak lagi menunjukkan wajah yang bersahabat, malah sebaliknya, mereka menunjukkan sikap curiga dan semakin tidak bersahabat. Di tambah lagi dengan perpecahan yang terjadi dalam tubuh gereja sehingga menimbulkan cap bahwa “orang Kristen hobby berkelahi” dan sangat gampang untuk memecah-belah mereka. Tanpa dipecah-belahkan pun mereka telah memecahkan dirinya, seperti yang dipaparkan oleh Paulus kepada jemaat di Korintus (I Korintus 3:4-5), bahwa jemaat di Korintus merasa bahwa mereka berasal dari golongan yang berbeda dan setiap golongan merasa merekalah yang paling benar, baik itu yang mengaku berasal dari golongan Paulus atau Apolos. Padahal, jemaat semua mengikuti jalan yang benar di mana Paulus dan Apolos memiliki tugas masing-masing dalam jemaat, dan Tuhan yang keduanya beritakan melengkapi mereka untuk kemuliaan nama-Nya. Demikian juga halnya dengan gereja masa kini. Mereka merasa bahwa golongan merekalah yang paling benar secara doktrin dan pengajaran, sedangkan gereja yang lain tidak lebih benar dari mereka dan demikian sebaliknya, sehingga kondisi ini menimbulkan GAP di antara gereja-gereja yang ada dan pada akhirnya timbul ketidaksehatian dalam tubuh Kristen itu sendiri dan sangat gampang untuk memecah-belah mereka.
Kondisi dan keberadaan ini menjadi problem tersendiri bagi gereja. Bagaimana gereja bisa mengabarkan tentang kasih Tuhan dan berbicara dengan banyak orang tentang penebusan Allah ketika gereja sendiri sebelum berbicara telah ditolak oleh mereka? Hal inilah yang seharusnya menjadi perhatian dan bahan perenungan bagi semua orang yang menyatakan dirinya adalah warga gereja, baik itu hamba Tuhan, majelis gereja, bahkan jemaat awam sekalipun.
Dikatakan lagi bahwa gereja tidak lagi memiliki kredibilitas yang tinggi, sehingga image ini menciptakan image lainnya yang diberikan masyarakat kepada gereja. Seperti, “gereja adalah pejuang yang setengah hati,” karena gereja tidak berubah dan mengubah di tengah masyarakat yang berubah, sehingga gereja terasing dari dinamika yang terjadi di masyarakat. Gereja lebih banyak bersembunyi dalam sarangnya dan mencari aman dan melupakan tugas dan tanggung jawab mereka sebagai duta Allah. Dan kritik pedas yang disampaikan oleh Pdt. Eka Darmaputera menyatakan bahwa gereja saat ini memang buta, tuli, bisu, mandul dan lumpuh.
Kenyataannya memang benar seperti yang dipaparkan oleh Pdt. Eka Darmaputera, gereja tidak lagi menarik dan merupakan suatu tempat yang membosankan dalam kondisi yang buta, tuli, bisu, mandul dan lumpuh, di mana banyak sekali permasalahan yang terjadi di dalam tubuh gereja itu sendiri yang seharusnya menjadi suatu perhatian bagi gereja tetapi tidak pernah diperhatikan oleh orang-orang yang berada di dalam gereja sehingga segala sesuatunya itu dibiarkan begitu saja.
Wacana yang telah dipaparkan oleh Pdt. Eka Darmaputra dapat menjadi suatu bahan renungan bagi gereja, bagaimana seharusnya gereja berbenah dan memperbaiki diri agar fungsi gereja yang sesungguhnya dapat dijalankan sesuai dengan apa yang Tuhan kehendaki.
Ketika gereja memasuki masa sekarang ini, di mana segala sesuatunya terus berubah, maka gereja juga harus menjawab tantangan zaman ini dengan terus memupuk diri dan menggali potensi yang ada sehingga gereja tetap eksis untuk memuliakan nama Tuhan. Gereja tidak bisa stagnan dan puas dengan keberadaan mereka yang sama sekali tidak berubah dan hal itu membuat manusia tidak lagi tertarik dengan gereja. Gereja menjadi gedung tua yang ditinggalkan oleh orang-orang dan akan semakin dilupakan jika gereja tidak segera berbenah diri.
Oleh karena itu, segala aspek yang berkenaan dengan gereja harus membenahi diri untuk bisa menjawab tantangan zaman ini dan dapat membawa masyarakat pada pemahaman yang benar tentang gereja dan lebih dari pada itu, orang dapat mengenal Kristus dengan lebih dalam dan lebih lebih sungguh lagi melalui gereja.
Personal Reflektion
Selain berbicara tentang gereja secara keseluruhan, isu-isu gereja masa kini juga berbicara tentang pribadi-pribadi yang dipanggil secara khusus oleh Allah, yang dikhususkan dan dikuduskan Allah untuk melayani-Nya, yakni para hamba Tuhan.
Berkenaan dengan hal ini, ada banyak isu yang diangkat berkaitan dengan keberadaan hamba Tuhan di gereja dan di tengah lingkungannya di masyarakat, dan dalam bagian ini mungkin hanya beberapa yang dapat dibicarakan. Pertama, hamba Tuhan dalam dunia yang berubah adalah agen Allah dalam perubahan tersebut. Sebagai agen Allah, tentu hamba Tuhan dituntut lebih banyak dibandingkan dengan manusia pada umumnya. Mereka harus bisa dan mampu hidup berbeda dari manusia pada umumnya dan membawa manusia-manusia itu untuk kembali kepada Tuhan lewat perubahan yang ada saat ini.
Dalam zaman yang semakin maju dan berubah ini, seorang hamba Tuhan tidak hanya dituntut sekedar mengurusi urusan gereja. Tetapi lebih dari pada itu, seorang hamba Tuhan juga diharapkan menjadi manusia super yang segala sesuatunya harus menguasai atau setidaknya tahu. Tetapi hal ini tentulah bukanlah menjadi suatu hal yang gampang, apalagi berbicara tentang konteks. Mungkin bagi hamba Tuhan di kota mengetahui segala sesuatu sangat gampang, tinggal mau atau tidak mereka belajar lebih banyak lagi, tetapi bagaimana halnya dengan hamba Tuhan yang tinggal di pedesaan yang dapat dikatakan bahwa segala-galanya terbatas. Bagaimana jika mereka dituntut untuk lebih pintar dan lebih banyak tahu? Ditambah lagi dengan pandangan jemaat yang beragam terhadap hamba Tuhan, di mana segala gerak-gerik yang dilakukan seorang hamba Tuhan menjadi sesautu yang “nikmat” untuk dibicarakan. Segala sesuatu yang dilakukan seorang hamba Tuhan selalu salah, jalan ke kanan salah apalagi ke kiri, dan hal seperti inilah yang saya pikir tidak adil untuk seorang hamba Tuhan.
Terkadang jemaat lupa bahwa hamba Tuhan adalah manusia biasa yang juga terbatas dalam segala sesuatunya. Karena itu mereka menuntut hamba Tuhan seperfek mungkin, tidak boleh ada cela sedikitpun. Sekali ada cela maka selamanya mereka tidak bisa diampuni dan diperlakukan semena-mena, bahkan “tanpa salahpun” mereka bisa diperlakukan semena-mena seperti pembantu atau pekerja saja. Jemaat lupa bahwa hamba Tuhan itu adalah manusia biasa tetapi yang diutus Tuhan, untuk apa? Untuk memberitakan Kristus kepada dunia.
Tidak berhenti sampai di sini, ternyata persoalan hamba Tuhan itu begitu kompleks, misalnya, ketika seorang hamba Tuhan yang telah berkeluarga dan memiliki banyak sekali tanggungan hidup yang harus mereka penuhi, sedangkan tunjangan yang diberikan gereja tidak mencukupi, apakah yang harus mereka lakukan? Berbisnis? Kembali ke diskusi kelas yang dilakukan kemarin, ternyata hal inipun melihat konteks tempat di mana hamba Tuhan itu berada dan bagaimana sistem gereja yang telah mengatur hal ini. Seorang hamba Tuhan di kota dan melayani di gereja yang lumayan besar tentu tidak ada kesempatan untuk mencari penghasilan lain di luar gereja karena mereka sibuk dengan pelayanan dan tentu tunjangan yang mereka terima itu cukup untuk kebutuhan mereka. Berbeda halnya dengan hamba Tuhan yang melayani di pedesaan bahkan di pedalaman, mereka harus bisa mandiri untuk mencari kebutuhan mereka. Kenapa? Tentu saja karena kondisi jemaat yang mereka layani. Kemungkinan besar, jemaat bukanlah jemaat yang telah maju dan sangat mampu, merekapun sangat terbatas. Ada kalanya persembahan yang mereka bawa bukanlah berupa uang, tetapi hasil bumi yang mereka miliki itulah yang menjadi persembahan mereka. Dalam keberadaan seperti ini, mau tidak mau seorang hamba Tuhan harus bisa berhikmat melihat kondisi dan situasi yang ada dan tidak bergantung kepada jemaat.
Isu lainnya yang berkembang adalah ketika seorang hamba Tuhan tidak lagi mengutamakan Tuhan dalam pelayanannya dan menempatkan diri di posisi Tuhan, sehingga orang-orang tidak lagi mencari Tuhan, tetapi mencari “hamba Tuhan” ini. Sungguh sesuatu yang sangat ironis di mana seharusnya seorang hamba itu memberitakan tentang Tuannya, tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Segala praktik yang mereka lakukan tidak ada bedanya dengan dukun-dukun yang ada dalam zaman ini dan ini membawa keuntungan pribadi. Semakin berkembang lagi dengan pemahaman dan pengajaran tentang Kristus yang mulai dibelokkan dan menyatakan keselamatan di luar Kristus.
Jika diperhatikan dengan seksama dan direnungkan, sungguh sangat ironis, kehidupan seorang hamba Tuhan pun bisa bergeser dari nilai-nilai ilahi yang diberikan dan difirman oleh Allah, mengikuti nilai-nilai yang diajarkan oleh dunia ini. Seorang hamba Tuhan tidak lagi malu dan sungkan untuk berbuat dosa dan mencoreng nama Tuhan di depan wajah dunia, sehingga hal ini membawa pandangan tersendiri bagi hamba Tuhan pada umumnya dan dapat dijadikan tolak ukur global oleh masyarakat dunia. Untuk itu, seorang hamba Tuhan harus memiki integritas yang tinggi dan dapat membawa jemaat (khususnya) dan masyarakat (umumnya) mengenal dan tahu tentang siapa hamba Tuhan itu dan bagaimana seharusnya kehidupannya.